Sabtu, 13 Agustus 2011

Tiga Orang yang Merugi Besar

Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang paling sayang terhadap umatnya. Beliau menunjukkan apa-apa yang bermanfaat untuk umatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan beliau juga menunjukkan apa-apa yang tidak bermanfaat atau merugikan terhadap umatnya. Karena itulah, dalam sebuah hadits, beliau bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ.

“Merugilah orang yang namaku disebut disisinya lalu ia tidak membaca shalawat kepadaku, merugilah orang yang memasuki Ramadhan, kemudian Ramadhan pergi sementara dosa-dosanya  belum terampuni, dan merugilah orang yang kedua orangtuanya berumur tua di sisinya, lalu keduanya tidak menyebabkannya masuk surga.” (HR. Tirmidzi; hadits hasan-shahih)

Di sini beliau menunjukkan ada tiga orang yang merugi.

Pertama; Orang yang tidak mau membaca shalawat ketika nama Nabi SAW disebutkan di sisinya. Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang demikian adalah orang yang kikir, padahal membaca shalawat itu adalah sesuatu yang ringan dan satu kali shalawat diganjar dengan shalawat dari Allah sepuluh kali. Adapun batas kewajiban membaca shalawat, para ulama menyatakan bahwa membaca shalawat itu paling tidak dilakukan satu kali dalam satu majelis.

Kedua; Orang yang memasuki bulan suci Ramadhan, namun ketika Ramadhan selesai dosa-dosanya tidak terampuni. Ini menunjukkan bahwa ia tidak memanfaatkan bulan suci Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Ia melihat Ramadhan tidak memiliki keistimewaan apa-apa sehingga ia tidak berbuat apa-apa di dalam bulan Ramadhan. Padahal barangsiapa yang beribadah secara sungguh-sungguh dalam bulan Ramadhan, dosa-dosanya terampuni. Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa yang menghidupkan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari; hadits shahih)

Menghidupkan Ramadhan itu dengan shalat tarawih, membaca Al-Qur`an, atau menghadiri majelis ilmu.
Ketiga; Orang yang tidak memenuhi hak-hak orangtua ketika orangtuanya telah berumur tua. Hal ini disebabkan orang yang mau mengurusi orangtuanya yang sudah tua dengan sebaik-baiknya menyebabkan dirinya mendapat pahala surga. Ini adalah sebuah kesempatan yang mulia ketika seseorang masih sempat hidup bersama dengan orangtuanya yang sudah tua. Betapa orangtua yang sudah berumur membutuhkan belas kasih dari sang anak. Sungguh, hak orangtua begitu besar terhadap anak. Bahkan Allah memerintahkan berbuat baik kepada orangtua setelah memerintahkan penyembahan yang murni terhadap diri-Nya. Dia berfirman,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa.” (an-Nisa`: 36)

Karena itu, apabila seseorang menyia-nyiakan orangtuanya yang sudah berumur itu sehingga tidak menyebabkannya masuk surga, maka merugi besarlah ia.(sumber : abidin)

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bahaya Menafsirkan Al-qur'an Sendiri..!

  Memang sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW akan banyaknya di akhir zaman orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan sembarangan, sesuai pendapat sendiri saja. Tanpa memiliki kemampuan di bidangnya, tanpa mengetahui kaitannya dengan hadits-hadits Nabi, kaitan ayat dengan ayat. Terkadang ditafsirkan disesuaikan dengan ajaran kelompok mereka, didoktrin dari pendahulu-pendahulu mereka tanpa memandang pendapat para ahli sebelumnya. Seolah pendapat merekalah yang paling benar.

Nabi SAW bersabda :


مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ



“Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).

Tetapi sayangnya, banyak yang tertipu dengan para penafsir gadungan ini. Mereka menyatakan pengajian mereka adalah benar karena masih menggunakan Al Qur’an dan Hadits. Padahal sudah banyak terbukti banyaknya ajaran-ajaran baru di akhir zaman ini yang menggunakan Al Qur’an dan Hadits sesuai nafsunya saja, sesuai pendapatnya saja. Bukankah para teroris juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Ahmadiyah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Syi’ah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Sebagai muslim yang ingin meniti jalan lurus sebaiknya kita mengetahui syarat-syarat menafsirkan Al-Qur’an / Firman Allah jadi tidak bisa sembarang menafsirkan sendiri atau dengan akal, walaupun benar tapi telah mendapatkan dosa karena tidak sesuai ajaran Rasulullah SAW, berikut ini tentang beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:

1. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan 
objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
Tentang kekuatan dan kedudukanhadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in
 
Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

dizaman akhir ini banyak aliran-aliran sesat sebagai akibat menafsirkan Al-Qur'an tanpa ilmu yang memadai , oleh karena itu berhati-hatilah dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al Qur’an melalui terjemahan, carilah pengajian Al Qur’an yang menggunakan kitab-kitab Tafsir yang diakui kebenarannya seperti kitab tafsir Qurtubi, Thobari, Ibnu Katsir, Jalalain dan lain-lain. Pengajian Tafsir Al Qur’an itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Balagoh, Ma’ani, Badi’, Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para sahabat dan para ulama.
 
Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc



Jumat, 05 Agustus 2011

Keutamaan Shalat Tarawih, menurut hadits-hadits shahih Rasulullah SAW (shalat qiyamul lail)

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]

Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.[7]

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.

Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]

Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,


مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[10]

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”[11]

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” [12]

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]

demikianlah keutamaan shalat tarawih menurut hadit sahih Rasulullah SAW, banyak hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat tarawih bahkan dalam salah satu hadits palsu disebutkan salat tarawih keutamaannya sangat besar sekali melebihi keutamaan shalat fardhu, sehingga tidak sedikit kaum muslimin yang tertipu oleh dalil-dalil palsu, akibatnya pada saat ramadhan masjid masjid-masjid penuh sampai ada jama;ah yang tidak kebagian tempat untuk shalat tarawih, akan tetapi pada waktu bulan selain ramadhan masjidnya sangat sepi bahkan sangat banyak yang meninggalkan shalat wajib yaitu shalat 5  waktu, benar-benar kondisi yang memprihatinkan. wallahu 'alam
Referensi : suaramedia

Hadits Palsu (dusta) tentang pahala shalat tarawih

Dari Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang keutamaan (shalat) Tarawih di bulan Ramadhan lalu beliau saw berkata:

Di Malam Ke-1 : Dosa-dosa orang yang beriman keluar darinya pada malam pertama seperti hari dilahirkan ibunya.


Di Malam Ke-2 : Dirinya diampuni juga (dosa) kedua orang tuannya jika keduanya beriman. 




Di Malam Ke-3 : Malaikat memanggil dari bawah arsy ; mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang lalu. 


Di Malam Ke-4 : Baginya pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur dan al Furqan (al Qur’an). 


Di malam Ke-5 : Allah memberinya pahala seperti orang yang shalat di Masjidil Haram, Masjid Madinah dan Masjid Aqsha. 


Di Malam Ke-6 : Allah memberinya pahala seperti orang yang melakukan thawaf mengelilingi baitul makmur dan bebatuan pun memohonkan ampunan baginya. 


Di Malam Ke-7 : Seakan-akan dia bertemu Musa as dan kemenangannya atas firaun dan Haman. 


Di Malam Ke-8 : Allah memberikan kepadanya seperti apa yang telah diberikan-Nya kepada Ibrahim as. 


Di Malam Ke-9 : Seakan-akan dia beribadah kepada Allah seperti ibadahnya Nabi saw. 


Di Malam Ke-10 : Allah memberikan rezeki kepadanya kebaikan dunia dan akhirat. 


Di Malam Ke-11 : Dirinya keluar dari dunia seperti hari kelahirannya dari rahim ibunya.


Di Malam Ke-12 : Pada hari kiamat dirinya akan datang seperti bulan di malam purnama. 


Di Malam Ke-13 : Pada hari kiamat dia akan datang dengan keamanan dari segala keburukan.



Di Malam Ke-14 : Malaikat datang untuk menyaksikannya shalat taraweh dan kelak Allah tidak akan menghisabnya pada hari kiamat. 


Di Malam Ke-15 : Para malaikat dan para malaikat pembawa Arsy dan kursi bershalawat kepadanya. 


Di Malam Ke-16 : Allah swt menetapkan baginya kebebasan dari api neraka dan dimasukan ke surga. 


Di MalamKe-17 : Diberikan pahala seperti pahala para Nabi. 


Di Malam Ke-18 : Para malaikat memanggil Wahai Abdullah,”Sesungguhnya Allah telah meredhoimu dan meredhoi kedua orang tuamu.’ 


Di Malam Ke-19 : Allah mengangkat derajatnya di surga Firdaus. 


Di Malam Ke-20 : Dia diberikan pahala para syuhada dan orang-orang shaleh. 


Di Malam Ke-21 : Allah membangunkan baginya sebuah rumah dari cahaya di surga. 


Di Malam Ke-22 : Pada hari kiamat ia akan datang dengan rasa aman dari semua kesulitan dan kecemasan. 


Di Malam Ke-23 : Allah membangun baginya sebuah kota di surga. 


Di Malam Ke-24 : Dikatakan kepadanya,”Ada 24 doa yang dikabulkan.’


Di Malam Ke-25 : Allah mengangkat siksa kubur darinya. 


Di Malam Ke-26 : Allah mengangkatnya seperti pahala 40 ulama. 


Di Malam Ke-27 : Pada hari kiamat ia akan melintasi shirothul mustaqim bagai kilat yang menyambar. 


Di Malam Ke-28 : Allah mengangkatnya 1000 derajat di surga.


Di Malam Ke-29 : Allah memberikan ganjaran baginya 1000 hujjah (argumentasi) yang dapat diterima. 


Di Malam Ke-30 : Allah berfirman: Wahai hamba-Ku makanlah dari buah-buahan surga dan mandilah dari air salsabila.”


Al Lajnah ad Daimah menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak memiliki landasan dan termasuk dalam hadits-hadits dusta terhadap Rasulullah saw. (al Lajnah ad Daimah Li al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’ No. 8050),

 ref: eramuslim


Rabu, 03 Agustus 2011

Mari kita lumpuhkan kaki tangan setan

saudaraku... kaum muslimin... mari kita SEMANGAT..!! MELAWAN KAUM PEMUJA SETAN LAKNAT

setan adalah makhluk keparat
setan adalah makhluk laknat
setan adalah makhluk bejad
setan adalah makhluk jalang tak punya jidat
hanya bermuka pantat...
tak punya malu tak punya adat

kerjamu membuat kerusakan
merusak kedamaian
menghilangkan ketentraman
mengajak manusia kelembah jahanam
benar-benar setan makhluk dirajam


aku dan temanku amat membencimu
tapi kau semakin dibenci semakin menjadi
karena kau memang makhluk tak punya hati
dasar setan memang makhluk biadab
tak pernah patuh perintah Tuhannya
hanya kesenangan sementara yang di kejarnya
tak peduli akhir hidup yang sengsara..


wahai kawanku jangan kau ikuti jejak syaiton
mereka tidak akan pernah membuatmu senang
justru kebahagiaan akan hilang
karena hanya perbuatan dosa yang dikerjakan
tak ada kata amal sholih ditelinga setan
yang ada hanya kemungkaran


wahai saudaraku kaum muslimin
janganlah kita terpedaya
oleh tipu daya mereka
syetan-syetan durjana
yang mengutamakan kesenangan dunia
menzalimi sesama manusia
penghuni kekal neraka

Yahudi nasrani dan majusi pengikut setia setan
mari kita lawan dengan segenap kemampuan
jiwa harta dan pikiran
kita kerahkan
untuk mengalahkan makar-makar setan
jumlah kita memang sedikit
tapi kita punya Allah
sang maha Pelindung
sang maha Agung
kita pasti akan menang
mengalahkan setan dan para budak-budaknya
amin.

(by Ashabul_Muslimin)