Selasa, 13 September 2011

Selamat Hari Lebaran. Mari kita eratkan tali silaturahim.

A. MUKADIMAH :

Islam adalah agama yang sempurna, mengatur dari tatacara beribadahan kepada Tuhan, adab, etika, bahkan sampai permasalahan pribadipun semua ada aturanya dalam Islam. Dan khususnya berkaitan dengan masalah adab yaitu hubungan antarsesama manusia supaya berjalan harmonis maka rasulullah Saw mengajarkan kita budaya menjaga silaturahim, adapun menurut pandangan sebagian orang bahwa silaturahim itu lebih utama waktunya pada waktu hari raya, hal itu kurang benar karena kapanpun waktunya kita dianjurkan untuk bersilaturahim supaya persaudaraan antar sesama muslim semakin erat. Berikut hadits Rasulullah SAW mengenai anjuran bersilaturahim ;

Dari Anas bin Malik radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Al-Bukhari no. 5986)

Dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Orang yang menyambung silaturrahmi bukanlah orang yang membalas akan tetapi orang yang menyambung silaturrahmi adalah orang yang menyambungnya ketika dia itu terputus.” (HR. Al-Bukhari no. 5991)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang pernah berkata, :

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ الْعَلَاءَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ  

“Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar dan lafazh ini milik Ibnu Al Mutsanna dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dia berkata; Aku mendengar Al A'laa bin 'Abdur Rahman bercerita dari Bapaknya, Dari Abu Hurairah bahwasanya seorang laki-laki pernah berkata; "Ya Rasulullah, saya mempunyai kerabat. Saya selalu berupaya untuk menyambung silaturahim kepada mereka, tetapi mereka memutuskannya. Saya selalu berupaya untuk berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka menyakiti saya. Saya selalu berupaya untuk lemah lembut terhadap mereka, tetapi mereka tak acuh kepada saya." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika benar seperti apa yang kamu katakan, maka kamu seperti memberi makan mereka debu yang panas, dan selama kamu berbuat demikian maka pertolongan Allah akan selalu bersamamu.(HR. Imam Muslim no. 2558)

B. RASULULLAH SAW MEWAJIBKAN KITA BERSILATURAHIM

Makna silaturahmi, secara bahasa adalah dari lafadz rahmah, yang berarti lembut dan kasih sayang. Abu Ishaq rahimahullâh berkata:“Dikatakan paling dekat rahimnya adalah orang yang paling dekat kasih sayangnya dan paling dekat hubungan kekerabatannya”.

Imam Al-Allamah Ar-Raghib Al-Asfahani rahimahullâh berkata, bahwa ar-rahim berasal dari rahmah, yang berarti lembut yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.

Oleh sebab itu, silaturrahmi merupakan bentuk hubungan dekat antara bapak dan anaknya, atau seseorang dengan kerabatnya dengan kasih sayang yang dekat, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

"Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim." (QS An Nisa‘:1)

Silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua dan sanak kerabat merupakan urusan yang sangat penting, kewajiban yang sangat agung, dan amal salih yang memiliki kedudukan mulia dalam agama Islam, serta merupakan aktifitas ibadah yang sangat mulia dan berpahala besar. Banyak nash, baik dari Al-Qur‘an dan Sunnah yang memberi motivasi untuk silaturahmi dan mengancam siapa saja yang memutuskannya dengan ancaman berat.

Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :

الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

"(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allâh sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh (kepada mereka) untuk menyambungnya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS Al Baqarah : 27)

Pada ayat di atas terdapat anjuran agar setiap muslim melakukan silaturrahmi dengan kerabat dan sanak famili. Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullâh berkata:“Pada ayat di atas, Allâh menganjurkan agar menyambung hubungan dengan sanak kerabat dan orang yang mempunyai hubungan rahim dan tidak memutuskannya”.

Oleh sebab itu, hendaknya setiap muslim melakukan silaturrahmi dengan sanak kerabat, baik dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik sekandung maupun hanya saudara sebapak atau seibu, atau sepersusuan dan kepada saudara sesama muslim baik yang dikenal maupun belum kenal. Semua hendaklah saling menyayangi, menghormati dan menyambung hubungan kekerabatan, baik pada saat berdekatan maupun berjauhan.

Dari Aisyah radhiyallâhu'anha, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ

“Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepada kami Sulaiman telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Sesungguhnya penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar Rahman, lalu Allah berfirman: Barangsiapa menyambungmu maka Akupun menyambungnya dan barangsiapa memutuskanmu maka Akupun akan memutuskannya."(HR. Bukhari No. 17)

Hubungan persaudaraan, khususnya antara saudara laki-laki dan saudara perempuan memiliki sentuhan yang sangat unik. Yaitu sentuhan batin yang sangat lembut serta kesetiaan yang sangat dalam. Semakin hari semakin subur, walaupun berjauhan jarak tempatnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, ia berkata, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh menciptakan makhluk. Dan setelah usai darinya, maka rahim berdiri lalu berkata: “Ini adalah tempat orang berlindung dari pemutusan silaturrahmi”. Maka Allâh berfirman: “Ya. Bukankah kamu merasa senang Aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu, dan memutuskan hubungan dengan orang memutuskan denganmu?” Ia menjawab: “Ya”. Allâh berfirman: “Demikian itu menjadi hakmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Barangsiapa yang memutuskan hubungan silaturrahmi tanpa alasan syar’i, maka berhak mendapatkan sanksi berat dan kutukan dari Allâh Ta'ala, serta diancam tidak masuk surga.

Allâh Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ   

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)  (QS Ar Ra’d : 25)

 Dari Jubair bin Muth’im radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat”. (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Begitulah ancaman bagi kaum yang suka memutuskan tali silaturahim, bahkan diancam masuk neraka jahanam, naudzubillahi min dzalik. Banyak orang menyepelekan masalah ini hanya karena alasan materi duniawi yang sesaat, padahal hukumannya sangat keras.

Semoga kita tetap menjadi orang yang istiqomah mengamalkan ajaran nabi SAW dan saling bersilaturahim dan saling kenal mengenal dengan sesama muslim, karena hakikatnya semua muslim itu saudara.

C. SILATURAHIM KEPADA KEDUA ORANG TUA ADALAH YANG PALING UTAMA

Allâh Ta'ala mewajibkan seorang anak untuk taat, berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuannya. Bahkan Allâh Ta'ala menghubungkan perintah beribadah kepadaNya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allâh Ta'ala:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً   
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia “.(QS Al Isra` : 23)
Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat hidup atau setelah wafat. Orang tua merupakan kerabat terdekat, yang banyak mempunyai jasa dan kasih sayang yang besar sepanjang masa, sehingga tidak aneh kalau hak-haknya juga besar.
Allâh Ta'ala berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah  dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah Kembalimu.” (QS Luqman : 14)

D. KEUTAMAAN BIRUL WALIDAIN

Di dalam Al-Qur‘an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam banyak disebutkan secara berulang-ulang, agar seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Kebaikan dan pengorbanan orang tua tidak terhitung jumlahnya, baik berupa jiwa raga dan kekuatan, tidak berkeluh kesah dan tidak meminta balasan dari anaknya. Adapun anak, ia harus selalu diberi wasiat dan diingatkan agar  senantiasa mengingat terhadap jasa orang tua, yang selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya untuk membesarkan dan mendidiknya.

Seorang ibu, selama mengandung mengalami banyak beban berat. Allâh Ta'ala menyebutkan, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya. Penderitaan ketika hamil, tidak ada yang bisa merasakan payahnya, kecuali kaum ibu.

Imam Bukhari rahimahullâh di dalam Adabul Mufrad, dari Abu Burdah radhiyallâhu'anhu, bahwa ia menyaksikan Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu dan seorang laki-laki dari Yaman sedang melakukan thawaf -sambil menggendong ibunya di belakang punggungnya Laki-laki tersebut berkata:‘Sesungguhnya saya menjadi tunggangannya yang tunduk, jikalau tunggangan lain terkadang susah dikendalikan, aku tidaklah demikian’. Lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar: ‘Wahai Ibnu Umar, apakah dengan ini saya sudah membayar jasanya?. Beliau menjawab: ”Sama sekali belum, walaupun satu kali sengalan nafasnya (saat melahirkanmu” (Hadits Adabul Mufrod no. 11 oleh Syaikh Al Albani )

Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :“Sesungguhnya Allâh berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, lalu Allâh berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu, kemudian Allâh berwasiat kepada bapak-bapakmu, dan kemudian Allâh berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu.” (Sunan Ibnu Majjah)

Begitulah, anak adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua. Kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya. Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian kedua orang tuanya. Tatkala kedua orang tua tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi betapa cepatnya seorang anak melalaikan semua jasa orang tuanya, dan hanya sibuk mengurus isteri dan anak-anaknya. Padahal berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan keputusan mutlak dari Allâh Ta'ala, dan merupakan ibadah yang menempati urutan ke dua setelah ibadah kepada Allâh Ta'ala.

Mari kita segera mulai dengan berbuat baik, menghormati dan memuliakan mereka berdua. Karena birrul walidain memiliki keutamaan.

E. ADAB-ADAB DIHARI RAYA :

1.Mandi

‘Ali radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang mandi yang disyari’atkan, ia menjawab, “Mandi hari Jum’at, mandi hari ‘Arafah, mandi Idul Fithri dan Idul Adhha.” (HR. Baihaqi melalui jalan Syaafi’i dari Zaadzaan)

2. Berhias  memakai baju yang bagus.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai burdah berwarna merah pada hari raya.” (Silsilah Ash Shahiihah 1278)
Ibnu Abid Dunyaa dan Baihaqi meriwayatkan dengan isnad yang shahih bahwa Ibnu Umar memakai baju yang bagus di dua hari raya.” (Fathul Bariy 2/51)

3. Jika ‘Idul Fitri dianjurkan makan terlebih dahulu sebelum berangkat menuju lapangan. Sedangkan jika idul Adh-ha dianjurkan makannya setelah shalat Idul Adhha.

Abdullah bin Buraidah meriwayatkan dari bapaknya, bahwa ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar (menuju lapangan) pada Idul Fithri sehingga Beliau makan, dan pada Idul Adh-ha tidak makan sampai Beliau melaksanakan shalat.” (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi)

4. Dianjurkan berangkat menuju tanah lapang dengan berjalan kaki.



Abu Raafi’ berkata:
كَانَ يَخْرُجُ إِلىَ الْعِيْدَيْنِ مَاشِيًا وَ يُصَليِّ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَ لاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ مَاشِياً فِي طَرِيْقٍ آخَرَ


“Beliau keluar menuju ‘Iedain dengan berjalan kaki, shalat tanpa azan dan iqamat, dan pulang berjalan kaki melewati jalan yang lain. “ (Ibnu Majah, Shahihul Jaami’: 4933)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

إِذَا أَتَيْتمُ ُالصَّلاَةَ فَأْتُوْهَا وَأَنْتمُ ْتَمْشُوْنَ


“Apabila kalian pergi untuk shalat, maka datangilah sambil berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Syaukani mengatakan, “Hal ini adalah umum untuk setiap shalat yang disyari’atkan berjama’ah seperti shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat ‘Ied, shalat Kusuf (gerhana) dan shalat istisqa’ (meminta turun hujan).”

5. Dianjurkan menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulangnya, berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits yang lain.

- Dianjurkan bertakbir (dengan dijaharkan pada hari raya dijalan-jalan dan di tanah lapang hingga shalat ditunaikan.

6. Lafaz takbirnya dalam hal ini adalah  waasi’ (bisa yang mana saja) di antaranya:

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, untuk-Nyalah segala puji.” (Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali).



7. Ucapan selamat lebaran


Menurut pendapat Syeikh Abul Hasan: bahwa “ucapan selamat lebih dekat kepada adat dari pada ibadah, dan dalam perkara kebiasaan dasarnya adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya, tidak seperti ibadah dimana orang yang mengatakannya perlu membawakan dalil atas ucapannya, seperti diketahui bahwa adat kebiasaan berbeda dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain, kecuali perkara yang telah pasti dilakukan oleh sahabat atau sebagiannya , lebih patut untuk diikuti dari pada yang lain.”

Syeikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apa hukum ucapan selamat hari raya? Dan apakah ada ucapan tertentu?

Maka beliau menjawab: “ucapan selamat hari raya dibolehkan, dan tidak ada ucapan selamat yang khusus, tetapi apa yang biasa diucapkan oleh manusia dibolehkan selama bukan merupakan ucapan dosa”.

Dan beliau juga berkata:
“Ucapan selamat hari raya telah diamalkan sebagian sahabat radhiallahu anhum, seandainya hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh sahabat, namun hal tersebut sekarang telah menjadi perkara tradisi yang biasa dilakukan manusia, dimana sebagian mengucapkan selamat kepada yang lain dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail”.

Dan beliau rahimahullah juga ditanya:
Apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan ucapan selamat hari raya setelah sholat Ied?

Beliau menjawab: “perkara-perkara ini tidak mengapa dilakukan, karena manusia tidak menjadikannya bentuk ibadah dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla, namun hanya menjadikannya sebagai tradisi, memuliakan dan menghormati, selama tradisi tersebut tidak ada larangannya secara syarie maka dasarnya adalah boleh”. (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin) 


F. KESALAHAN-KESALAHAN PADA SAAT HARI RAYA 'IEDUL FITRI 

Hari Raya 'Iedul Fitri merupakan salah satu syiar kemuliaan kaum Muslimin. Pada hari itu, kaum Muslimin berkumpul. Jiwa-jiwa menjadi bersih dan persatuan terbentuk, Pengaruh kejelekan dan kesengsaraan hilang. Yang nampak pada hari itu hanyalah kebahagiaan. Namun yang pantas disesali, pada hari itu sering terjadi kekeliruan-kekeliruan dalam merayakannya. Di antaranya:


- Meniru orang kafir dalam berpakaian. Fenomena ini merupakan hal aneh. Padahal seorang muslim dan muslimah seharusnya memiliki semangat untuk menjaga agama, kehormatan dan fitrahnya. Jangan tergoda dengan ikutikutan meniru kebiasaan orang-orang yang tidak menjaga kehormatannya.


- Sebagian orang menjadikan hari raya sebagai syiar melaksanakan kemaksiatan, sehingga secara terang-terangan ia melakukan perbuatan yang diharamkan. Misalnya dengan mendengarkan musik dan nyanyian dan memakan makanan yang diharamkan Allâh Ta'ala.


- Dalam berziarah (kunjungan) tidak memperhatikan etika Islami. Contohnya : bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, saling berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.


- Berlebih-lebihan dalam membuat makanan dan minuman yang tidak berfaedah, sehingga banyak yang terbuang, padahal banyak kaum Muslimin yang membutuhkan.


- Hari Raya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menyatukan hati kaum Muslimin, baik yang ada hubungan kerabat ataupun tidak. Juga kesempatan untuk mensucikan jiwa dan menyatukan hati. Namun pada kenyataannya, penyakit hati masih tetap saja bercokol.


- Menganggap bahwa silaturahmi hanya dikerjakan pada saat hari raya saja.


- Menganggap bahwa pada hari raya sebagai saat yang tepat untuk ziarah kubur.

- Saling berkunjung untuk saling maaf-memaafkan di antara para kerabat dan sanak famili dengan keyakinan saat itulah yang paling afdhal.

- Bersalaman dengan sentuhan tangan dengan yang bukan mahrom adalah hal biasa.


Demikian penjelasan dari kami semoga kita tetap istiqomah dalam menerima ajaran islam, segala kekurangan mohon dimaafkan. Wallahu Alam Bishowab.


SUMBER : (MAJALAH AS-SUNAH, BERBAGAI ARTIKEL)


 

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah