Selasa, 01 Mei 2012

Luruskan Lisanmu Sebelum Luruskan Keimananmu

Nabi SAW bersabda: “Berkatalah yang baik-baik (secukupnya) atau sebaliknya diam apabila tidak bisa.” “Iman seseorang tidak akan lurus sebelum hatinya lurus. Dan hati tidak akan lurus sebelum lisannya lurus.” (HR Thabrani).
Pelajaran :
Hadits diatas mengandung pelajaran bahwa baik tidaknya keimanan seseorang tercermin daripada lidahnya. Tanda kedalaman ilmu seseorang juga tercermin daripada ucapan-ucapan yang dikeluarkan lidahnya, oleh karena itu walaupun ada orang itu punya ilmu setinggi gunung dan dianggap sebagai orang terpandang namun jika perkataanya menyakitkan hati orang maka orang akan memandangnya sebagai orang yang bodoh dan mendapat julukan si Lidah tajam artinya wibawanya sebagai orang berilmu hilang karena ucapan-ucapannya. Oleh karena itu jika seseorang ingin mempunyai keimanan yang benar maka tidak akan pernah terwujud sebelum hatinya diperbaiki karena apa yang ada dalam hati merupakan cermin daripada perbuatan-perbuatan seseorang. Dan hatipun jika sudah diperbaiki tapi tidak akan pernah lurus sebelum lidahnya (lisan) dijaga dengan baik. Maka kita bisa menyimpulkan bahwa kita harus perbaiki lisan kita dan perbuatan-perbuatan kita sebelum kita memperbaiki keimanan kita.
Karena kita melihat tidak jarang orang bisa berkata ini tapi tidak bisa mengamalkan apa yang dia ucapkan (bisa bicara tidak bisa berbuat). Maka orang seperti ini walaupun dia adalah ahli ilmu yang faqih namun pasti banyak orang tak segan dengan dirinya kadang nasehat-nasehat yang dia ucapkan tidak mau digubris orang karena citranya dimata umum sudah buruk. Begitu juga kita juga harus memperbaiki perbuatan-perbuatan kita sebelum kita membenahi keimanan kita, karena tidak jarang pula kita menemukan orang-orang yang ‘mengaku’ mengikuti sunah Rasul dengan penampilan bercadar dan berjilbab syar’i (longgar), berjenggot, celana diatas mata kaki, bergamis, memakai peci dan sebagainya namun sayang sekali kadang sama tetangga dekat saja tidak rukun walau cuman beda partai, mengucapkan salam kepada yang kenal saja, fanatis golongan secara berlebihan dsb. artinya penampilannya tidak mencerminkan perbuatan-perbuatannya. Secara tidak sadar maka orang-orang seperti ini telah membuat citra islam  jelek dimata masyarakat, sehingga jika ada orang mau belajar berpenampilan sunnah (misalnya memakai gamis dan bercelana tidak isbal) jadi kepikiran karena nanti dikira golongan orang-orang fanatik sempit dan munafik (bisa berkata tidak bisa berbuat).  Karena perbuatan dan lisan kita yang belum benar namun sudah berani berkata dan mengaku berpenampilan paling “nyunnah” artinya bisa dibilang juga penampilan yang tidak sesuai perbuatan kadang akan menjauhkan orang dari hidayah, Naudzubillah.
 Bahkan kadang orang yang mengikuti sunahpun kadang difitnah oleh musuh sebagai ‘teroris’ akhirnya banyak orang muslim yang awam ikut-ikutan mencap orang-orang yang berpenampilan syar’i  sebagai ‘teroris’ padahal yang jelas-jelas teroris adalah orang kafir yang mengadu domba kita. Hal itu terjadi karena tidak lain adalah penampilan yang tidak sesuai dengan akhlaq dan perbuatan baik itu perkataan atau perbuatan. Juga pergaulan kita dimasyarakat umum yang kurang dan cenderung menutup diri karena mungkin sudah merasa ‘mengikuti sunnah’ / paling benar sendiri dan tidak mau bergaul dengan orang awam karena menganggap diri kita lebih benar dari mereka. Bukankah hal itu termasuk SOMBONG. Alangkah baiknya jika mengaku paling mengikuti sunnah perbaiki dulu akhlaq dan lisannya sehingga orang akan memandang islam ini bukan hanya agama dipenampilan saja sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Teladan sampai hari kiamat. Maka benarlah kata nabi saw kalau iman takkan lurus sebelum perkataan dan perbuatan lurus. Perkataan adalah apa yang keluar dari lidah / lisan sedangkan perbuatan adalah apa yang dikeluarkan oleh keinginan dalam hati.
Nabi saw telah juga menjelaskan kepada kita bahwa lebih baik diam daripada banyak bicara namun sia-sia. Karena kebanyakan dosa manusia adalah justru berasal dari mulutnya karena itu memanglah benar kalau ada pepatah mengatakan “lidah lebih tajam daripada pedang”. Kadang Dengan lisan, seseorang mengucapkan sepotong-dua potong kalimat yang membuat Allah ridha, sehingga ia masuk surga. Pun dengan lidah, seseorang mengucapkan seatah-dua patah kata yang mengundang murka Allah, sehingga ia tergelincir begitu jauh ke dalam neraka, sejauh jarak timur dan barat.
Lisan pun seringkali menjadi sumber bencana bagi seseorang, ibarat harimau yan siap menerkam. Atau dengan kata lain, kunci keselamatan manusia ada pada apa yang dia ucapkan. Yang memprihatinkan, tak sedikit dari kaum muslimin yang tidak menyadari bahaya potensial yang dapat disebabkan oleh mulut. Terbukti, ghibah, namimah, kedustaan, persaksian palsu, dan dosa-dosa lainnya masih begitu mewarnai kehidupan. Padahal hal-hal diatas bukan saja menyebabkan kebinasaan seseorang di dunia, tetapi juga di akhirat.

Dan diantara ketergelinciran lisan karena ketidakmampuan seseorang menjaganya adalah Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan!Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’, ee dasar kambing dungu sukanya nyuri tanaman orang. Dan sebagainya
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti ini. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan, pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta'ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti’.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)

Lalu yang lainnya adalah dusta menjadi hal yang biasa. Hal ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini. Dalam mu’amalah saja seringkali seperti itu. Hanya ingin mendapat untung yang besar, seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga semennya sebenarnya 30 ribu, namun tukang tersebut mengatakan pada juragannya bahwa harganya 40 ribu. Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga muncul perkataan dusta. Ketika seorang anak merengek, menangis terus-terusan. Untuk mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan, “Iya, iya, nanti Mama akan belikan coklat di warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah anaknya diam, ibunya malah tidak memberikan dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga secara tidak langsung telah mengajarkan anaknya untuk berdusta. Jadi jangan salahkan anaknya, jika dewasa nanti, anaknya malah yang sering membohongi orang tuanya. Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-sama berkata dusta. Ingatlah bahwa perbuatan semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga : jika berkata, dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)  Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya.

Walhasil, keberadaan lisan sangat berpengaruh terhadap nasib kehidupan seorang hamba, baik di dunia terlebih di akhirat. Karena itulah, pengetahuan tentang potensi-potensi bahaya yang ditimbulkan oleh lisan penting untuk kita kuasai. Berangkat dari keprihatinan ini, marilah kita perbaiki lisan kita sebelum kita berbuat banyak untuk keimanan kita dan menjadi panutan bagi masyarakat sekitar kita.

KEUTAMAAN MENJAGA LISAN

Pertama, Diam adalah Kebijaksanaan yang paling utama.
Rasulullah saw pernah bersabda : Diam adalah kebijaksanaan dan sedikit orang yang mampu melaksanakannya. (HR. Abu Manshur ad-Dailamy)
Begitulah saudaraku, kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah, betapa banyaknya manfaat yang didapat oleh seseorang yang dapat menjaga lisannya dengan baik. Bahkan rasulullah pernah mengatakan diam adalah kebijaksanaan paling utama. Lalu ada pepatah juga mengatakan “diam adalah emas” artinya orang yang lebih banyak diam daripada bicara banyak namun sia-sia pasti dia terpandang sebagai orang yang mulia dimata masyarakat. Memang menjaga lidah yang kecil ini tidak semudah yang dibayangkan karena hawa nafsu manusia selalu ingin mengeluarkan kata-kata tidak berguna yang terlintas didalam pikiran manusia. Tapi apapun kemauan kita, Insyaallah kita bisa melakukannya jika kita berlatih menjaga lidah mulai sekarang. Perbuatan baik akan terasa ringan bila kita mengerjakannya secara istiqomah lalu lama-lama akan terbiasa dengan sendirinya. Ibaratkan sebuah pesawat roket yang ingin menuju angkasa luar maka pertama-tama yang dilakukan adalah menyalakan mesin pendorong dengan sekuat-kuatnya sampai lepas dari tarikan gravitasi bumi. Setelah pesawat roket tersebut sampai kepada titik dimana gaya gravitasi bumi tidak mempengaruhi maka tidak perlu tenaga yang banyak untuk mendorong roket yang berat itu. Bahkan hanya dengan dorongan satu tangan roket itu bisa meluncur dengan sendirinya diruang angkasa tanpa hambatan.
Begitulah ibarat kita belajar beramal baik (contohnya menjaga lidah). Pertama-tama memang amat sulit dan memang harus memaksa diri dengan kesabaran yang menghabiskan tenaga dan pikiran, karena dalam hal ini kita akan memutar balik 180 derajat kebiasaan lama yang buruk itu (contohnya mengumbar lidah / perkataan-perkataan tidak berguna). Akan tetapi  jika lama-lama kita terbiasa begitu maka hal itu takkan sesulit pertama melakukan perbuatan baik itu. Bahkan tidak perlu kesadaran diri kita sudah bisa melakukannya karena istiqomah dan kesabaran akan berbuah kemudahan dan kebaikan yang banyak.
Bukankah Allah itu telah memberitahukan kepada kita bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Insyirah ayat 6 yang artinya “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Jika kita mengambil teladan ulama-ulama salaf (terdahulu) yang bisa kita jadikan panutan, contohnya  ulama yang selalu menjaga lisannya bahkan sampai dalam keadaan sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit yang dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal), “Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat).” Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan dicatat oleh malaikat. (Di kutip dari : Silsilah Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 11/5)
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan yang lebih dari itu. Lalu contoh lainnya adalah keteladanan dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama melainkan lisanku ini." (Dikutip dari : Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hal. 165, Maktabah Darul Bayan)
Maka tak sepantasnya bagi seorang mukmin yang mengimani akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan mengumbar lidah seenaknya. Karena jika kita tidak bisa “memenjarakan” lidah kita didunia maka bisa berakibat kita sendiri yang “dipenjara” diakhirat.
Kedua, Dengan menjaga Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. (HR. Bukhari)
Hadits ini mengandung pelajaran bahwa kadang seseorang itu mengatakan suatu kebaikan atau mengatakan kalimat-kalimat kebaikan yang biasa dia ucapkan karena kalau memang sudah kebiasaan maka melakukannya pun sampai-sampai dalam keadaan tidak sengaja atau tidak dipikirkan dahulu, ternyata perkataanya itu memiliki timbangan yang berat disisi Allah SWT sehingga Allah mengangkat derajat orang itu. Perkataan itu memang tak harus dalil-dalil dari al-Qur’an ataupun dari hadits rasulullah saw akan tetapi perkataan itu yang penting merupakan nasehat yang berguna dan memotivasi orang lain untuk beramal baik dan menjauhi kemungkaran.
Misalnya saja tanpa sengaja kita mengatakan kalimat syair “Hidup di Dunia ini sementara, janganlah kita terpedaya karena akhirat kampung kita sebenarnya”. Karena memang kita suka dengan kalimat itu lalu selalu membunyikannya tanpa sadar sehingga kadang ada orang yang mendengar lalu berniat melakukan maksiat menjadi urung karena ingat kata-kata kita. Atau ada orang berkata “bersedekah itu hakikatnya kita menabung diakhirat” lalu kalimat ini terdengar oleh temannya akhirnya temannya termotivasi untuk bersedekah. Secara tidak langsung bukankah orang itu mendapatkan pahala seperti orang yang bersedekah itu tadi, karena kata-katanya itu kelihatannya remeh tapi ternyata bisa memotivasi orang untuk beramal. Itulah contoh kecil saja. Maka alangkah banyaknya pahala jika kita terbiasa melakukan perkataan-perkataan yang baik terus. Karena secara tidak sadar pahala juga mengalir terus.
Lalu dalam kitab Nashihatu Linnisa’, Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan selalu diarahkan pada perkara kebaikan, di antaranya dengan berdo’a, membaca Al Qur’an, berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain di majelis ilmu dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa diperoleh dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara yang Allah ridhoi. (Lihat Nashihatu Linnisa’, hal. 20)
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjaga lisan ini dan mengarahkannya kepada hal-hal yang dirihoi oleh Allah. Amin Ya Mujibad Da’awat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

CARA MENJAGA LISAN
Pertama, Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”  Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur [24] : 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.

Kedua, Mengingat betapa besarnya dosa akibat tergelincirnya lisan
Karena dalam satu riwayat Nabi saw pernah mengatakan bahwa kebanyakan manusia menjadi penghuni neraka adalah karena lidah dan kemaluannya. Ternyata organ tubuh yang lemah bila dibandingkan dengan organ tubuh lain semacam tangan atau kaki, ternyata lebih menjerumuskan orang kedalam neraka karena kelalaian menjaganya. Karena dibiarkan berkata-kata bohong, mengumpat, menyakiti hati orang lain, meng-nggibah, mengucapkan kalimat syirik dan sebagainya. Juga sebab orang tidak bisa menjaga kemaluan adalah berawal dari lidah juga yang mengatakan kata-kata yang manis  namun berduri dan menimbulkan syahwat (seperti kata-kata “i lov yu”, kamu cakep ya, aku mencintaimu, dan juga menyanyikan lagu-lagu dewasa yang membangkitkan syahwat dsb) kepada lawan jenis yang bukan muhrim. Sehingga bila kedua hati telah terpikat akhirnya terjadi pendekatan kepada zina (pacaran) lalu akhirnya zina beneran, naudzubillah. Karena tidak mungkin zina terjadi tanpa kata-kata manis dahulu sebagai pemanasan. Tentulah segala sesuatu ada permulaan. Dan permulaan zina adalah berawal dari pandangan mata dan kemudian kata-kata lisan yang mengajak kepada zina, akhirnya bila ada kesempatan berduaan ditempat sepi maka terjadilah zina.
Memang jika orang menganggap dosa lisan itu kecil (meremehkannya) akhirnya jika dibiarkan maka akan terbiasa melakukan dosa lisan itu. Akhirnya walaupun dosa mulut itu kecil namun jika terbiasa bukankah akan menjadi menumpuk hingga menjadi dosa yang besar?.

Mengingat konsekuensi dosa lisan yang begitu berat maka percuma Keimanan kita bangun namun lidah tidak terjaga akhirnya usaha kitapun sia-sia. Maka dari sekarang marilah kita jaga lisan kita supaya tidak tergelincir kedalam kesusahan dan kesengsaraan.

Wallahu ‘alam

Referensi :
-          Remajaislam.com
-          Sriwijaya post
-          Berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah