Jumat, 13 September 2013

Tokoh Islam : Ibnul Qoyyim Al Jauziyah

Beliau ( Lahir: 691 H. - Wafat: 751 H. )

1. NAMA DAN KELAHIRAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Namanya:

Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa'd bin Hariz bin Makki,
Zainuddin az-Zura'i, kemudian ad-Dimasyqi al-Hanbali.

Kunyahnya:

Abu Abdillah, dan gelarnya: Syamsuddin. Dia masyhur dengan Ibnu Qayyim
al-Jauziyah. Dimutlakkan padanya secara ringkas dengan nama Ibnu
al-Qayyim, dan tidak benar dimutlakkan padanya dengan Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah. Sebab pemimpin Madrasah al-Jauziyah di Damaskus adalah
ayah-nya, Abu Bakar Ibnu Ayyub az-Zura'i, lalu keturunannya dan anak
cucu mereka setelah itu masyhur dengannya. Kemudian salah satu dari
mereka dipanggil dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Sedangkan al-Jauzi adalah nisbat kepada suatu tempat di Bashrah. Ada
yang mengatakan, dinisbatkan kepada al-Jauz (buah kelapa) dan jual
belinya.

Kelahirannya:

Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan, Kitab-kitab biografi ber-sepakat bahwa
sejarah kelahirannya pada 691 H.

Muridnya, ash-Shafadi menyebutkan kepastian hari dan bulannya, dengan
men-jelaskan bahwa kelahirannya pada tanggal 7, bulan Shafar dari
tahun tersebut. Pendapatnya ini diikuti oleh Ibnu Taghri Bardi,
ad-Dawuri, dan as-Suyuthi. Aku belum pernah melihat ada orang yang
menegaskan tentang tempat kelahirannya, apakah di Zura' ataukah di
Damaskus, selain al-Maraghi dalam Thabaqat al-Ushuliy-yin. Dia
mengatakan bahwa kelahirannya di Damaskus. Sementara mereka menyatakan
mengenai biografinya dan biografi ayahnya, 'Az-Zura'i al-Ashl (asalnya
orang Zura'), kemudian ad-Dimasyqi.' Seperti diketahui bahwa istilah
mereka dengan pengungkapan ini terkadang dimaksudkan untuk menunjukkan
tempat kelahiran kemudian tempat berpindah bagi orang yang dikemukakan
bio-grafinya. Bisa juga yang mereka maksudkan bahwa orang tuanya atau
kakek-kakeknya, misalnya, dari negeri ini, kemudian berpin-dah ke
negeri lainnya. Wallahu a'lam.

2. PUJIAN ULAMA KEPADA IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Ibnu Rajab al-Hanbali 5 mengatakan, Dia bertafaqquh dalam madzhab,
menguasai dan berfatwa, konsisten menyertai Syaikh Taqiyyuddin Ibnu
Taimiyah, dan menguasai berbagai disiplin ke-ilmuan Islam. Dia
memiliki pengetahuan tentang tafsir yang tidak tertan-dingi,
ushuluddin, dan ilmu ini berpuncak kepadanya, hadits berikut maknanya,
fikihnya, dan detil-detil istinbath darinya yang tidak bisa disamai
oleh orang lain dalam hal tersebut, fikih dan ushulnya, bahasa Arab,
dan dia memiliki penguasaan yang luas terhadapnya, ilmu Kalam, nahwu
dan selainnya.

Dia mengetahui ilmu Suluk (perilaku), ilmu kalam ahli Ta-sawwuf,
isyarat, dan detil-detil mereka. Dia memiliki penguasaan yang luas
terhadap ilmu-ilmu ini. Ibnu Katsir mengatakan tentangnya, Dia
mendengarkan hadits, sibuk dengan ilmu, dan menguasai berbagai macam
ilmu, terutama ilmu tafsir, hadits, dan dua asal. Ketika Syaikhul
Islam kembali dari negeri Mesir pada 712 H., dia menyertainya hingga
Syaikh wafat. Dia mengambil ilmu yang melimpah darinya, di samping
kesibukan yang telah dilakukannya sebelumnya. Dia terus mendapatkan
tambahan di pintunya dalam berbagai disiplin ilmu, di samping banyak
melakukan pencarian di malam dan siang hari, serta banyak berdoa. Ibnu
Nashir ad-Dimasyqi mengatakan, Dia memiliki berba-gai macam disiplin
ilmu, terutama tafsir dan ushul berupa manthuq (tekstual) dan mafhum
(kontekstual).

Adz-Dzahabi mengatakan, Dia menaruh perhatian terhadap hadits, matan
dan rijalnya. Dia menyibukkan diri dengan fikih, dan menerangkannya
dengan bagus. Juga dalam bidang Nahwu, dan mendalaminya, serta
memahami dua ushul (fikih dan nahwu).

Asy-Syaukani mengatakan, Dia menguasai berbagai macam ilmu,
mengungguli orang-orang sejawatnya, masyhur di berbagai penjuru, dan
memiliki pengetahuan yang luas tentang pendapat-pendapat salaf.

Al-Qadhi Burhanuddin az-Zura'i mengatakan, Tidak ada di bawah kolong
langit ini orang yang lebih luas ilmunya daripada-nya. Dia mengajar di
ash-Shadariyyah, dan memimpin di al-Jau-ziyah dalam waktu yang lama,
serta menulis dengan tangannya sesuatu yang tak terhitung banyaknya.

Al-Hafizh Ibnu Nashiruddin asy-Syafi'i mengatakan, Asy-Syaikh
al-Allamah Syamsuddin, salah satu ahli tahqiq, tokoh penga-rang, ahli
tafsir yang jarang ditemui, memiliki karya-karya yang bagus berkenaan
dengan ilmu-ilmu syariat dan hakikat.

Al-Hafizh as-Suyuthi mengatakan, Dia menjadi salah seorang imam besar
dalam bidang tafsir, hadits, furu', dua pokok, dan bahasa Arab.

Al-Qadhi Abdurrahman at-Tafahni al-Hanafi mengatakan, (Beliau adalah)
murid Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang karya-karyanya
tersebar di berbagai penjuru. Dia mengatakan juga, Seandainya dia
(Ibnu Taimiyah) tidak memiliki peninggalan kecuali ilmu yang melekat
pada muridnya, Ibnu al-Qayyim, niscaya itu sudah cukup.

Mulla Ali al-Qari mengatakan mengenainya dan mengenai syaikhnya, Siapa
saja yang menelaah Syarah Manazil as-Sa`irin, maka tampak jelas
baginya bahwa keduanya termasuk di antara tokoh Ahlus Sunnah wal
Jama'ah, dan di antara wali umat ini.

Shiddiq Hasan Khan mengatakan, Ulama agung (tokoh yang tinggi kedudukannya).

3. IBADAH DAN AKHLAK IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, Dia memiliki ibadah dan tahajjud,
shalat panjang hingga mencapai klimaksnya, beribadah, berdzikir, lahap
dengan cinta, inabah (taubat), istighfar, butuh kepada Allah, tunduk
kepadaNya, dan bersimpuh di hadapanNya di pintu ubudiyahNya. Aku tidak
pernah menyaksikan orang seper-tinya dalam hal itu. Aku juga tidak
pernah melihat ada orang yang lebih luas ilmunya daripadanya, dan
lebih tahu tentang makna al-Qur`an dan Sunnah serta hakikat iman
daripadanya. Namun dia bukanlah orang yang ma'shum. Tetapi aku tidak
pernah melihat orang sepertinya berkenaan dengan semua itu. Dia
mendapatkan ujian, mendapatkan gangguan berkali-kali, dan dipenjara
bersama Syaikh Taqiyyuddin pada terakhir kalinya di penjara Damaskus
dalam keadaan terpisah darinya dan tidak dilepaskan kecuali sete-lah
kematian Syaikh. Selama masa dipenjarakan, dia menyibukkan diri
membaca al-Qur`an dengan tadabur dan tafakur. Dari situ, kebaikan yang
banyak terbuka di hadapannya, mendapatkan aspek cita rasa yang sangat
besar dan akibat yang benar. Disebabkan hal tersebut, dia menguasai
tentang ilmu-ilmu ahli ma'rifat dan me-nyeruak ke dalam relung mereka.
Karya-karyanya sarat dengan hal itu.

Dia berhaji beberapa kali dan bermukim sementara waktu di Makkah.
Penduduk mengutarakan tentangnya, karena kegigihan beribadah dan
banyak melakukan thawaf, sebagai suatu perkara yang menakjubkan.

Ibnu Katsir mengatakan, Aku tidak pernah mengetahui di dunia ini, di
zaman kami, orang yang lebih banyak beribadah dari-padanya. Dia
memiliki metode dalam shalat yang dia panjangkan sekali. Dia
memanjangkan rukuk dan sujudnya. Terkadang banyak sahabatnya yang
mencelanya, tapi dia tidak kembali dan tidak menarik diri darinya,
semoga Allah merahmatinya.

Ibnu Hajar 5 mengatakan, Apabila dia telah Shalat Shubuh, maka dia
duduk di tempatnya untuk berdzikir kepada Allah hingga siang, dan dia
mengatakan, 'Inilah waktu makanku. Seandainya aku tidak makan, niscaya
kekuatanku menjadi lemah.' Dia pernah mengatakan, 'Dengan kesabaran
dan kefakiranlah, kepemimpinan dalam agama akan diraih.' Dia juga
mengatakan, 'Seorang peniti jalan itu harus memiliki semangat yang
bisa menjalankan dan me-naikkannya, dan ilmu yang bisa menerangi dan
menuntunnya'.

Ibnu Katsir 5 mengatakan, Dia adalah orang yang bagus bacaan Qur`annya
dan akhlaknya, banyak mencintai orang lain, tidak dengki kepada siapa
pun, tidak menyakitinya, tidak memper-budaknya, dan tidak dendam
kepada siapa pun. Ringkasnya, dia sangat sedikit keburukannya dalam
semua urusan dan ihwalnya, sedangkan yang lebih mendominasinya adalah
kebajikan dan akhlak yang utama.

4. PENCARIAN ILMU YANG DILAKUKAN OLEH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Dr. Bakar bin Abdullah Abu Zaid mengatakan, Siapa yang memperhatikan
biografi Ibnu al-Qayyim 5, maka dia mendapati-nya memiliki kecintaan
yang jujur dalam menuntut ilmu, kesung-guhan yang besar dalam mengkaji
dan meneliti, kebebasan dalam mengambil ilmu dari para syaikh, baik
dari Hanabilah maupun selainnya, dan melebur di jalan ilmu. Hal itu
telah bercampur de-ngan daging dan darahnya sejak usia dini, serta
bersemangat dalam mencari ilmu sejak masih kecil, pastinya pada saat
usia tujuh tahun. Hal itu tampak lewat perbandingan antara tarikh
kelahirannya 691 H. dengan tarikh kematian sejumlah syaikhnya yang
dari mereka dia menimba ilmu.

Di antara syaikhnya, ialah asy-Syihab al-Abir (wafat 697 H.). Dengan
demikian, dia mulai mendengar pada saat berusia tujuh tahun. Sungguh
Ibnu al-Qayyim memuji syaikhnya, asy-Syihab, dan dia menyebutkan
sekelumit dari ta'birnya terhadap mimpi dalam kitabnya, Zad al-Ma'ad,
kemudian mengatakan, Aku mendengar beberapa juz di hadapannya, dan aku
belum diperkenankan mem-baca ilmu ini di hadapannya karena masih
kecil, sementara kema-tian menjemputnya.' Di antara syaikhnya, ialah
Abu al-Fath al-Ba'labaki (wafat pada 709 H.), dan dia telah membaca
sejumlah kitab di hadapan-nya tentang nahwu, di antaranya Alfiyyah
Ibnu Malik. Alfiyyah dan sejenisnya seperti al-Muthawwalat (teks-teks
panjang lainnya) ber-kenaan dengan bahasa Arab, tidak dipelajari
kecuali oleh orang yang mampu, menguasai, dan mencapai puncak dalam
pencarian.

Artinya, dia telah menguasai bahasa Arab saat masih belum berusia 19 tahun.

Demikian pula tentang jumlah syaikh dan gurunya, sebagai-mana yang
akan disebutkan tentang guru-gurunya insya Allah. Se-sungguhnya
banyaknya penyimakan dan gurunya, melimpahnya ilmu yang dikuasainya,
dan banyaknya keahliannya di dalamnya, –padahal masa tinggalnya di
dunia ini (sekedar) hampir 60 tahun– menunjukkan kepada kita juga atas
kebenaran hasil (kesimpulan) ini.

5. UJIAN YANG DIHADAPI IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Ustadz Abdul Azhim Abdussalam Syarafuddin mengatakan, Dia mendapatkan
gangguan sebagaimana yang menimpa Syaikh-nya. Dia dipenjara bersamanya
di penjara setelah dihinakan, diarak di atas unta sembari dicambuk
dengan cemeti, dan dipenjara, karena mengingkari syadd ar-rihal
(memaksakan perjalanan jauh) untuk menziarahi kubur al-Khalil (seorang
penyair).

Dia juga mendapatkan ujian dalam hubungannya dengan para qadhi. Hal
itu karena dia berfatwa tentang bolehnya perlombaan dengan tanpa
muhallil (penengah), lalu as-Subki mengingkarinya dan memintanya
menarik pendapatnya, maka dia menarik apa yang difatwakannya. Yang
menjelaskan (problematika) ini adalah bahwa asy-Sya-fi'iyah,
Hanafiyyah dan Ahmad berpendapat bahwa jika seseorang berlomba (pacuan
kuda) dengan selainnya, dan salah satunya me-nyerahkan rahn (taruhan),
maka perlombaan pacuan kuda tersebut boleh. Apabila masing-masing dari
keduanya menyerahkan taruhan, maka perlombaan pacuan kuda tidak
diperbolehkan, kecuali jika keduanya memasukkan muhallil (peserta
lomba yang tidak dipungut taruhan) antara keduanya. Hal itu karena
perlombaan pacuan kuda dengan tanpa keberadaannya dalam kondisi ini
menjadi perjudian, karena masing-masing dari keduanya bertaruh untuk
mengambil jika menang dan diambil jika kalah. Sekiranya keduanya
memasukkan muhallil di antara kedua-nya, maka boleh bertaruh. Dia
adalah peserta lomba ketiga yang membawa kuda yang bisa menandingi
kuda keduanya, dan dia tidak membayar sedikit pun. Jika dia bisa
mengalahkan keduanya, maka dia mengambil taruhan yang diserahkan
keduanya. Jika muhallil bisa mengalahkan salah satunya, maka dia dan
pemenang berserikat pada harta orang yang terakhir. Jika keduanya
menga-lahkan muhallil, maka keduanya mengambil taruhan yang telah
keduanya keluarkan, dan muhallil tidak menanggung kerugian sedikit
pun. Pendapat mereka diselisihi Ibnu al-Qayyim, lalu dia berpen-dapat
tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda dengan tanpa muhallil. Bahkan,
dia cenderung tidak membolehkan muhallil. Pen-dapat yang disinyalir
darinya dalam masalah ini, ialah perkataan-nya, Pendapat tentang
muhallil (peserta lomba yang tidak dipungut taruhan) adalah madzhab
yang diambil manusia dari Sa'id bin al-Musayyab. Adapun sahabat, maka
tidak dihafal dari seorang pun dari mereka bahwa dia mensyaratkan
muhallil atau pemberi taruhan, padahal mereka banyak melakukan
perlombaan dan memberikan jaminan. Bahkan, yang dihafal dari mereka
ialah kebalikannya.

Dia mengemukakan dalil-dalil dari kalangan yang berpenda-pat tentang
muhallil dan membantahnya, kemudian mengemuka-kan dalil-dalil yang
melarang muhallil. Di antara yang disebutkan darinya sebagai
penjelasan tentang akibat yang ditimbulkan pada muhallil berupa
kebatilan pendapatnya, dan mengenai hal ini ada dua macam kerusakan:

Pertama, keluar dari keharusan berlaku adil, yang notabene adalah
penyerta syariat yang sempurna, berputar bersamanya, karena porosnya
adalah keadilan. Kedua, membuat orang yang menaati Allah dan RasulNya,
yang menyerahkan taruhan karena berkeinginan belajar perlom-baan
(pacuan kuda) agar memiliki kemampuan berjihad, menjadi lebih buruk
keadaannya daripada orang pinjaman ini yang nota-bene adalah penyusup.
Bahkan, penyusup ini, yaitu muhallil, hanya memperhatikan kepentingan
dirinya sendiri.

Dia dipenjara bersama Syaikhnya dalam keadaan terpisah darinya dan
tidak dilepaskan kecuali setelah kematian Syaikh. Selama masa
dipenjara, dia menyibukkan diri membaca al-Qur`an dengan tadabur dan
tafakur. Dari sanalah, kebaikan yang banyak terbuka di hadapannya.

Dia berhaji beberapa kali, dan bermukim sementara waktu di Makkah.
Penduduk mengutarakan tentang-nya, karena kegigihan beribadah dan
banyak melakukan thawaf, dengan suatu yang menakjubkan. Dr. Bakar bin
Abdullah Abu Zaid mengatakan yang ringkas-nya,

Banyak fatwa dan aqa'id (akidah) yang masyhur darinya, yang karena
sebagiannya dia mendapatkan gangguan, di antaranya sebagai berikut:

1. Masalah talak tiga dengan satu lafazh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
5 berfatwa bahwa talak tiga dengan satu lafazh dianggap satu. Ibnu
al-Qayyim berfatwa ten-tang masalah ini sejalan dengan pilihan
syaikhnya, Ibnu Taimiyah, sedangkan penduduk bumi pada umumnya
menerapkan bahwa talak tiga dengan satu lafazh dianggap tiga, bukan
satu. Ini adalah perkara yang karenanya menimbulkan pengingkaran dalam
jiwa, terutama jiwa yang memiliki wawasan luas tentang sejarah fikih
dan ilmu perselisihan.

Murid-muridnya menyebutkan gangguan yang menimpanya dikarenakan fatwa
ini. Ibnu Katsir mengatakan, Dia berfatwa tentang masalah talak
sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Taqiy-yuddin Ibnu Taimiyah, dan
karena sebab itu terjadi kerenggangan hubungan yang terlalu panjang
untuk disebutkan dengan Qadhi al-Qudhah Taqiyyuddin as-Subki dan
selainnya.

2. Fatwanya tentang bolehnya perlombaan (pacuan kuda) dengan tanpa
muhallil (peserta lomba yang tidak dipungut ta-ruhan).

3. Pengingkarannya terhadap syadd ar-rihal (memaksakan perjalanan
jauh) ke kubur al-Khalil.

Ibnu al-Qayyim berusaha sekuat tenaga mengembalikan khalaf ke jalan
Salaf. Ini menyelisihi sesuatu yang dianut oleh strata pemikiran di
masyarakat di mana dia hidup. Sebab masyarakat telah dikuasai oleh
sejumlah kesalahan dan dikepung oleh sejumlah keyakinan yang tidak
sejalan dengan madzhab salaf. Dan termasuk hal yang tidak bisa
dihindarkan bila Ibnu al-Qayyim mendapatkan gangguan sedemikian rupa,
ketika menyuarakan kebenaran secara lantang dalam masyarakat seperti
ini.

Di antara amalan yang diperhitungkan sebagai qurabat (pen-dekatan diri
kepada Allah), ialah syadd ar-rihal (memaksakan per-jalanan jauh) ke
kubur al-Khalil. Ibnu al-Qayyim mengingkari hal itu, menyampaikan
kepada orang-orang sezamannya, baik masya-rakat umum maupun
terpelajar, dan menjelaskan kepada mereka bahwa syadd ar-rihal
(memaksakan perjalanan jauh) ini merupakan perkara yang diingkari
dalam agama dan bid'ah yang menyelisihi jalan yang lurus. Hal itu
mengakibatkan pergolakan yang mence-ngangkan, sehingga dia
dipenjarakan karenanya. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Rajab, Dia
dipenjara pada satu masa, karena mengingkari syadd ar-rihal
(memaksakan perjalanan jauh) ke kubur al-Khalil.

6. GURUNYA DAN MURID IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Gurunya:

Ayahnya, Abu Bakar Ibnu Ayyub Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Abd ad-Da`im,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, asy-Syihab al-'Abir, Ibnu asy-Syirazi,
al-Majdu al-Harrani, Ibnu Maktum, al-Kahhali, al-Baha` bin Asakir,
al-Hakim Sulaiman Taqiyyuddin Abu al-Fadhl bin Hamzah, Syarafuddin bin
Taimiyah, saudara Syaikhul Islam, al-Mutha'im, Fathimah binti Jauhar,
Majduddin at-Tunisi, al-Badr bin Jama'ah, Abu al-Fath al-Ba'labaki,
ash-Shaff al-Hindi, az-Zam-lakani, Ibnu Muflih, al-Mizzi.

Muridnya:

Al-Burhan bin al-Qayyim al-Jauzi, putranya Burhanuddin, Ibnu Katsir,
Ibnu Rajab, Syarafuddin bin al-Qayyim, putranya Abdullah bin Muhammad,
as-Subki, Ali bin Abdul Kafi bin Ali bin Tamam as-Subki, adz-Dzahabi,
Ibnu Abdil Hadi, an-Nabulsi, al-Ghazi, al-Fairuz Abadi al-Muqri.

7. HAJI DAN MUJAWARAH YANG DILAKUKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan,

Murid terdekatnya, al-Allamah Ibnu Rajab 5 menyebutkan kepada kita
bahwa syaikhnya, Ibnu al-Qayyim 5 berhaji beberapa kali dan bermukim
sementara waktu di Makkah. Lalu dia menga-takan, Dia haji berkali-kali
dan bermukim sementara waktu di Makkah. Penduduk Makkah membicarakan
tentangnya, karena kegigihannya beribadah dan banyak melakukan thawaf,
sebagai suatu yang menakjubkan.

Ibnu al-Qayyim menyebutkan di sejumlah kesempatan dalam kitabnya
tentang sebagian ihwalnya, saat dia berada di Makkah –semoga Allah
senantiasa menyucikan dan mengaman-kannya–, di antaranya sebagai
berikut: 1. Dia menulis kitabnya, Miftah Dar as-Sa'adah wa Mansyur
Wilayah al-Ilm wa al-Iradah, saat bermukimnya di Makkah –semoga Allah
memeliharanya–. Dia mengatakan di akhir mukadimahnya, Ini adalah
sebagian hidangan dan hadiah yang telah Allah bukakan kepadaku ketika
aku memfokuskan diri untukNya di sisi BaitNya, menjatuhkan diri di
pintuNya dalam keadaan miskin lagi hina, mengharapkan hembusan dan
kekuatanNya di BaitNya, baik pagi maupun petang. Maka dia pun (yakni
dirinya) tidak terelakkan untuk mengutarakan segala hajatnya, dan
menggantungkan harapannya kepadaNya. Lalu dia memasuki pagi dalam
keadaan bermukim di pintuNya, dan singgah di tempat naunganNya.

2. Dia mencari kesembuhan dengan air Zamzam. Dia menga-takan, Pada
saat aku bermukim di Makkah, aku terkena berma-cam-macam penyakit,
sedangkan di sana tidak ada tabib dan tidak ada obat-obatan
sebagaimana di kota-kota lainnya. Maka aku ber-obat dengan madu dan
air Zamzam, ternyata aku melihat suatu yang menakjubkan di dalamnya
berupa kesembuhan.

3. Dia mengobati dirinya dengan ruqyah dan minum air Zamzam. Dia
mengatakan dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, saat membicarakan
tentang ruqa (jamak dari ruqyah), Aku telah men-coba hal itu pada
diriku dan pada orang selainku perkara-perkara yang menakjubkan,
terutama saat bermukim di Makkah. Aku mengalami penyakit yang
mengganggu hingga nyaris aku tidak bisa bergerak, dan hal itu terjadi
pada saat thawaf dan selainnya. Aku pun bersegera membaca al-Fatihah,
dan mengusapkannya pada tempat yang sakit, ternyata seakan-akan
kerikil jatuh. Aku telah mencoba hal itu berkali-kali.

Aku mengambil sewadah air Zamzam, lalu aku membacakan al-Fatihah
padanya dan meminumnya, ternyata dengan hal itu aku mendapatkan
manfaat dan kekuatan yang belum pernah aku jumpai sebagai obat serta
perkara yang lebih besar daripada itu. Tetapi itu tergantung kekuatan
iman dan keyakinan yang benar. Hanya Allah-lah tempat untuk dimohon
pertolonganNya.

4. Tafa`ul (optimisme)nya tatkala putranya tersesat jalan pada hari Tarwiyah.

Dia mengatakan dalam Miftah Dar as-Sa'adah di akhir pem-bahasan
tentang fa`l (optimisme), Aku kabarkan kepadamu tentang diriku
mengenai kasus ini, yaitu aku kehilangan salah satu anakku pada hari
Tarwiyah di Makkah, sedangkan dia masih anak-anak. Aku berusaha
mencari-nya, dan memanggilnya di semua rombongan hingga waktu hari
kedelapan, ternyata aku tidak mendapatkan beritanya. Aku pun putus asa
karenanya, maka seseorang berkata kepadaku, 'Ini adalah kelemahan,
naiklah dan masuklah sekarang ke Makkah lalu carilah.' Aku pun menaiki
kuda, ternyata aku menjumpai segolongan orang berbincang-bincang dalam
kegelapan malam di jalan. Salah satu dari mereka mengatakan, 'Suatu
kampung telah kehilangan sesuatu lalu aku menemukannya.' Aku tidak
tahu, apakah selesainya kata-katanya itu lebih cepat ataukah
didapatinya anak itu pada sebagian penduduk Makkah, lalu aku
mengenalinya lewat suaranya.

8. KARYA TULIS IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH 5 YANG SUDAH DICETAK

1. Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah 'ala Ghazwi al-Mu'aththilah wa
al-Jahmiyyah, dicetak di India pada 1314 H., kemudian dicetak di Mesir
pada 1351 H.

2. Ahkam Ahl adz-Dzimmah, dicetak dengan tahqiq Shubhi ash-Shalih
dalam dua jilid.

3. Asma` Mu`allafat Ibnu Taimiyah, risalah ini dicetak dengan tahqiq
Shalahuddin al-Munajjid.

4. I'lam al-Muwaqqi'in an Rabb al-Alamin, dicetak dalam empat jilid di
percetakan al-Muniriyah dan percetakan as-Sa'adah.

5. Ighatsah al-Lahfan min Mashayid asy-Syaithan, dicetak berkali-kali
dalam dua jilid.

6. Ighatsah al-Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadhban, dicetak dengan
tahqiq Muhammad Jamaluddin al-Qasimi. 7. Bada`i' al-Fawa`id, dicetak
di Mesir pada percetakan al-Mu-niriyyah dengan tanpa tanggal, dan ini
empat juz dalam dua jilid.

8. At-Tibyan fi Aqsam al-Qur`an, dicetak beberapa kali.

9. Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud, dicetak beberapa kali, di
antaranya dua cetakan bertahqiq: salah satunya cetakan Abdul Hakim
Syarafuddin al-Hindi 380 H., dan kedua, dengan tahqiq Abdul Qadir
al-Arna`uth, 391 H.

10. Tahdzib Mukhtashar Sunan Abi Dawud, dicetak bersama Mukhtashar
al-Mundziri, dan syarahnya (Ma'alim as-Sunan), karya al-Khaththabi
dalam delapan jilid kecil.

11. Jala` al-Afham fi ash-Shalah wa as-Salam ala Khair al-Anam.

12. Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah, dicetak di Mesir berkali-kali.

13. Hukm Tarik ash-Shalah, dicetak berkali-kali di Mesir.

14. Ad-Da` wa ad-Dawa`, dicetak dengan judul al-Jawab al-Kafi Liman
Sa`ala an ad-Dawa` asy-Syafi.

15. Ar-Risalah at-Tabukiyyah, dicetak di percetakan as-Salafiy-yah di
Mesir 1347 H.

16. Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin, dicetak per-tama
kalinya di percetakan as-Sa'adah, Mesir, 1375 H.

17. Ar-Ruh, dicetak berkali-kali.

18. Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khair al-Ibad, dicetak berkali-kali dalam
empat jilid, dan terakhir dicetak dalam lima jilid.

19. Syifa` al-Alil fi Masa`il al-Qadha` wa al-Qadar wa al-Hikmah wa
at-Ta'lil, dicetak dua kali.

20. Ath-Thibb an-Nabawi, dicetak secara tersendiri dua kali, dan ini
diambil dari Zad al-Ma'ad.

21. Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa'adatain, dicetak berkali-kali.

22. Ath-Thuruq al-Hakimah fi as-Siyasah asy-Syar'iyyah, dicetak berkali-kali.

23. Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah asy-Syakirin, dicetak ber-kali-kali.

24. Al-Furusiyyah, dan ini adalah ringkasan dari al-Furusiyyah asy-Syar'iyyah.

25. Al-Fawa`id, dan ini bukan Bada`i' al-Fawa`id, dicetak per-tama
kalinya di percetakan al-Muniriyyah. 26. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi
al-Intishar li al-Firqah an-Najiyah, dicetak berkali-kali dan masyhur
dengan nama an-Nuniyyah.

27. Al-Kalim ath-Thayyib wa al-Amal ash-Shalih, dicetak berkali-kali
di Mesir dan India, dengan nama al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim
ath-Thayyib.

28. Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na'bud wa Iyyaka Nasta'in,
dicetak berkali-kali dalam tiga jilid dengan nama ini. Ini adalah
syarah Manazil as-Sa`irin, karya Syaikhul Islam al-Anshari.

29. Miftah Dar as-Sa'adah wa Mansyur Wilayah al-Ilm wa al-Iradah,
dicetak berkali-kali. Kitab ini berisikan tentang mengetahui ilmu dan
keutamaannya, mengetahui hikmah Allah pada pencipta-anNya dan
hikmahNya dalam tasyri'Nya, serta mengenal kenabian dan kebutuhan yang
sangat besar kepadanya.

30. Al-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha'if, dicetak
ber-kali-kali, dan dicetak dengan nama al-Manar.

31. Hidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-Nashara, dicetak berkali-kali.

9. WAFAT IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

Dia 5 wafat pada malam Kamis, 13 Rajab waktu adzan Isya 751 H. dalam
usia 60 tahun, semoga Allah merahmatinya. Dia dishalatkan keesokan
harinya setelah shalat Zhuhur di al-Jami' al-Umawi, kemudian di Jami'
Jarrah, dan manusia berdesak-desakan untuk melayat jenazahnya.

Ibnu Katsir mengatakan, Jenazahnya disaksikan oleh penuh manusia,
disaksikan para qadhi, para tokoh, dan orang-orang shalih, baik dari
kalangan khusus maupun umum. Orang-orang berdesak-desakan untuk bisa
memikul kerandanya.

Dia dimakamkan di Damaskus, di pekuburan al-Bab ash-Shaghir di sisi
ibunya –semoga Allah merahmati keduanya–. Seba-gian muridnya
menyebutkan bahwa tidak lama sebelum kematian-nya, dia bermimpi
melihat Syaikh Taqiyyuddin, dan bertanya kepadanya tentang
kedudukannya, maka Syaikh mengisyaratkan ketinggian kedudukannya
melebihi kedudukan para tokoh, kemu-dian mengatakan, 'Engkau sebentar
lagi akan menyusul kami, tetapi engkau sekarang berada pada tingkatan
Ibnu Khuzaimah.' Wallahu a'lam.

Sumber darulhaq.com

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah