Selasa, 05 Juni 2012

Televisi, alat propaganda kaum kapitalis !

Oleh : Muh. Ashabus Samaa'un


Anda mengenal televisi. Tentu saja semua orang mengenal televisi. apalagi dijaman yang serba milenium ini. Yang tidak mengetahui apa itu televisi paling cuman segelintir manusia dari suku primitif. Dari jaman dulu sekitar tahun 50-an sampai sekarang perkembangan televisi telah cukup signifikan. Dulu layarnya hitam putih dan sedikit saja orang yang punya. Kalau mau nonton televisi paling-paling rame-rame kayak bioskop. Beda dengan sekarang, televisi adalah barang elektronik yang setiap rumah pasti punya. Modelnya pun bermacam-macam dan sangat canggih. Layarnya sudah LCD, Plasma dan LED.  Bahkan bisa digunakan untuk internet dan sebagainya.


Setiap hari sebagian besar daripada orang indonesia menghabiskan waktunya untuk menonton televisi. Padahal kebanyakan acara televisi itu tidak mendidik malah justru merusak pemikiran dan moral masyarakat. Dari iklan-iklan pengumbar aurot, sampai adegan pacaran bahkan ciuman yang tidak sepantasnya anak kecil melihat. Sehingga secara langsung atau tidak televisi telah mengendalikan alam pikiran penontonnya. Seperti hipnotis, televisi telah membius sebagian besar warga dunia dan menjadikan pemikiran yang cinta galmour dan hidup wah. Lupa ibadah, lupa belajar dan lupa makan. hanya karena televisi. Ternyata tidak lain televisi ini adalah salah satu alat propaganda bangsa zionis terutama kaum kapitalis dalam rangka menghancurkan islam dari dalam. memang sebaiknya kita waspada jika kita tidak ingin jadi korban


Sambil menyelam minum air. Barangkali pepatah ini menggambarkan dengan tepat perilaku kapitalis media di Indonesia. Terutama televisi, tapi media lainnya tidak kecuali. Dengan menjejalkan sampah berupa entertainment dalam ke dalam benak rakyat pekerja melalui media massa, mereka menangguk keuntungan ganda.

Beberapa keuntungan kaum kapitalis dari televisi adalah :

Pertama, pundi-pundi mereka semakin penuh. Sebab, acara yang sangat diminati akan memperbanyak iklan. Kapitalis yang menjual barang atau jasa menyasar rakyat pekerja sebagai konsumen, dan media massa kapitalis menjadi jembatannya. Jelas ada simbiosis mutualisme antara kapitalis yang menjual barang dan jasa dengan kapitalis media.

Kedua, mereka berhasil menciptakan “dunia baru” bagi rakyat pekerja. Bukan dunia riil, tentu, tetapi dunia khayal. Dunia khayal ini terdiri dari berbagai panggung dan skenario, lengkap dengan para aktor dan aktrisnya, baik yang protagonist, antagonis, peran pembantu, atau semata figuran. Ada yang lucu, yang bikin pemirsa tertawa terpingkal-pingkal. Ada yang miris, yang membuat pemirsa berurai air mata. Ada yang menyebalkan, yang menciptakan rasa sebal di hati pemirsa. Ada yang menyenangkan, yang menghadirkan kegembiraan di hati pemirsa. Dengan itu semua, pertama, kapitalis media melipur lara rakyat pekerja, yang susah hati karena himpitan beban-beban kehidupan; kedua, kapitalis media mengobati kelelahan fisik dan mental rakyat pekerja setelah seharian kerja membanting tulang untuk menyambung hidup dan – khususnya kaum buruh – memperkaya kaum majikan. Dengan refreshing itu, rakyat pekerja siap membantingtulang lagi keesokan harinya. Ketiga, dengan itu semua kapitalis media mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari akar yang sesungguhnya dari persoalan mereka, yakni penindasan dan penghisapan kapitalis, kepada permainan logika dan emosi dunia khayal. Demikianlah, dengan dunia khayal kapitalis media menjinakkan rakyat pekerja.

Entertainment tidak pernah tanpa entertainer. Karena itu kapitalis media membutuhkan para pekerja entertainment, tergantung dari jenis khayalan apa yang ingin dijualnya. Lucu, miris, menyebalkan, atau menyenangkan. Tergantung pula kemasannya: talk show, komedi, musik, infotainment, sinetron, atau reality show. Ada Thukul Arwana, Olga, Rafi, Ayu Ting Ting, Jessica Iskandar, dsb., dsb.

Ketiga , Ada simbiosis mutualisme antara para pekerja entertainment dan kapitalis media. Sudah barang tentu melalui mereka kapitalis media menangguk keuntungan yang sangat besar. Sejumlah pekerja entertainment, yang menjadi sales omong kosong dan sampah juga memperoleh keuntungan yang sangat besar. Semakin penampilan mereka memperbesar slot iklan, semakin tinggi mereka dibayar, dan semakin pula mereka tenar. Mereka pun menikmati kemewahan yang sekian lama menjadi “hak istimewa” para ningrat feodal dan kaum burjuis. Mereka bukan ningrat feodal, mereka juga bukan burjuis. Namun “berkah” yang dikucurkan burjuasi, yakni kapitalis media (yang dalam analisis terakhir sebenarnya diperoleh kapitalis media dari nilai lebih yang dirampas para kapitalis barang dan jasa dari kaum buruh mereka), membuat orang-orang ini bisa menikmati segala sesuatu yang tidak mungkin dinikmati oleh kaum pembantingtulang, rakyat pekerja: uang berlimpah, mewahnya makanan, pakaian, rumah, mobil, dan liburan, serta ketenaran. Dengan jeli kapitalis media pun membuat gaya hidup dan ulah mereka menjadi berita yang laku dijual kepada para pemirsa. Sampah-sampah pun memenuhi layar kaca televisi kita.

Keempat, Menjadikan rakyat sebagai pekerja pasar bagi mereka. Rakyat pekerja sekaligus juga “binatang liar” yang harus dijinakkan. Pekerja entertainment diuntungkan, terlebih kapitalis media, juga klas kapitalis secara keseluruhan. Dalam hal ini Julius Caesar benar, “sirkus” (pertunjukan, atau hiburan) adalah salah satu cara yang ampuh untuk menjinakkan rakyat. Namun kapitalis media jelas lebih pandai daripada Caesar, karena mereka berhasil membuat rakyat mengisi penuh pundi-pundi mereka. Modal tidak hanya berhasil menjinakkan kaum yang dikhawatirkan akan menjadi para penggali kuburnya. Modal juga berhasil membuat kaum penggali kubur itu membuatnya semakin besar.

Antonio Gramsci, seorang Marxis dan pendiri Partai Komunis Italia, berkata-kata tentang hegemoni sebagai “perangkat lunak” yang dimiliki klas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah “kepemimpinan moral dan intelektual”. Melalui agama, pendidikan, surat kabar, dan sebagainya, para produsen ideologis klas penguasa membentuk sentiment moral dan cara berpikir klas yang dikuasai. Dengan demikian klas yang dikuasai, yakni klas buruh dan rakyat pekerja lainnya, menerima begitu saja nilai-nilai moral, sistem pemaknaan, dan logika burjuasi alias klas penguasa. Pada gilirannya, rakyat pekerja tidak mempertanyakan keabsahan kekuasaan burjuasi. Tentu saja Gramsci benar. Tapi kapitalis media memperlihatkan satu prestasi lagi dari klas penguasa: memasukkan rakyat pekerja ke dalam dunia khayal, dan dengan jalan itu menjinakkan rakyat pekerja dan menangguk keuntungan besar dari mereka.


APA SOLUSI TERSEBUT ?


Tak ada yang perlu dilakukan melainkan kita harus menjauhkan diri dan keluarga dari layar televisi. Dan lebih menyibukkan waktu kita untuk hal yang bermanfaat. Jika kita butuh hiburan kenapa kita tidak membeli saja sebuah radio AM/FM. Daripada kita membeli televisi tetapi banyak sisi yang dirugikan. Dampak dari televisi ini cukup hebat. Dari mempermalas anak belajar sampai pemikiran orang tua yang serba materialistis dan hedonisme dan individualisme telah ditanamkan televisi kepada para penontonnya. Akhirnya kita lihat sendiri dampaknya. Bangsa indonesia ini yang katanya berbudi pekerti luhur beradat timur ternyata kebanyakan orangnya suka mengikuti gaya hidup orang barat yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan budaya hidup kita sebagai bangsa yang beradab dan berbudi luhur. Apalagi jika kita seorang muslim, sangat tidak pantas meniru-niru budaya mereka yang memang sangat bertentangan juga dengan budaya keislaman kita.


Selamatkanlah generasi muda dari bahaya televisi sekarang juga. Jika tidak maka kenakalan remaja, seks bebas, tawuran, pacaran, kehamilan diluar nikah dan sebagainya adalah secara tidak langusng adalah pengaruh buruk dari media teknologi dijaman globalisasi ini. Karena jika ditinjau dari segi manfaat mungkin sekitar 10 persen saja sedangkan kerugian dari media teknologi ini sekitar 90 persen. Jadi hitung-hitung lebih baik televisi anda dirumah dijual saja atau yang belum punya tak usah punya televisi. Karena ternyata dampak buruknya lebih banyak daripada dampak baiknya.


Wallahu 'alam
(Refrensi)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah